Letusan gunung ini, yang kini masuk dalam wilayah Kabupaten Bima itu termasuk salah satu dari 100 bencana terbesar sepanjang masa. Bayangkan saja, letusan yang terjadi 11 April 1815 tersebut terasa hingga Musim Semi dua tahun kemudian, 1817. Bencana itu menyebabkan sekitar 150.000 orang menemui ajalnya. Kerugian miliaran rupiah berupa padi yang rusak dan kehancuran lainnya.
Berdasarkan ilmu pengetahuan, ini gempa bumi biasa, tetapi mitos yang hidup di tengah masyarakat menyebutkan, musibah ini merupakan kemarahan Al Khalik atas perilaku rakyat Tambora.
Aneh benar, dari puncak gunung setinggi 3.960 m itu muncul tiga gumpalan api yang terpisah memuncak hingga tinggi sekali. Seluruh puncak gunung tampak segera diselimuti lava berpijar. Sebarannya meluas hingga ke jarak yang sangat jauh. Di antaranya, sebesar kepala, jatuh dalam cakupan diameter beberapa kilometer Pecahan-pecahan yang tersebar di udara telah telah mengakibatkan kegelapan total. Abu yang dikeluarkan begitu banyak, mengakibatan kegelapan total di Jawa yang jaraknya 310 mil (500 km). Abu ini mengakibatkan kegelapan total saat tengah hari. Menutupi tanah dan asap dengan lapisan setebal beberapa sentimeter, begitu Sir Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Jawa, dikutip Stephen J.Spignesi dalam bukunya yang diterjemahkan Bonifasius Sindyarta, S.Psi, berjudul 100 Bencana Terbesar Sepanjang Masa.
Musim Dingin Nuklir
Spignesi (hlm. 103) menulis, salju mulai turun sekitar pukul 8 pagi – turun dengn deras dan gerimis hingga lewat pukul 14.00. Puncak-puncak gunung telah dimahkotai oleh salju pada setiap sisinya. Cuaca paling suram dan luar biasa yang pernah kusaksikan, begitu kesaksian Bennington, Vermont, petani Benyamin Harwood, dalam catatan hariannya awal bulan Juni 1816.
Selanjutnya Spignesi memaparkan, jika peluru kendali beterbangan dan kejadian yang tak terbayangkan terjadi, maka umat manusia tidak saja harus menghadapi kematian dan kehancuran yang telah diakibatkan oleh nuklir, tetapi juga harus (menurut berbagai ilmuwan termashur, termasuk Carl Sagan) menghadapi musim dingin nuklir.
Ledakan nuklir bisa menghasilkan temperatur berkisar antara 5.400 hingga 7.200 derajat Fahrenheit (2.980-3.980 derajat C). Hampir semua benda akan terbakar pada temperaturn ini. Jika materi yang terbakar itu bersifat organik (manusia, pohon), maka asap yang dihasilkan tebal dan tidak sehat bagi pernapasan. Mungkin tidaklah beracun. Jika materi yang terbakar itu plastik atau gelas, atau bahan kimia atau bahan sintetis, maka gas yang dihasilkan dan muncul dalam bentuk asap mungkin bersifat cukup mematikan.
Musim dingin nuklir – penggelapan dan pendinginan atmosfer di seluruh dunia – akan terjadi saat asap dari satu atau lebih ledakan nuklir. Menghalangi sinar matahari mencapai tanah, menyebabkan menurunnya temperatur secara drastis. Padi mati di mana-mana. Begitu pun halnya dengan cuaca aneh yang bisa berupa badai salju, musim panas, dan kabut tebal yang tercemar.
Musim dingin nuklir juga akan menghancurkan bentuk-bentuk kehidupan tak terhingga banyaknya, karena telah diperkirakan bahwa perang nuklir antara Amerika Serikat dan Rusia atau China akan membunuh paling tidak satu miliar orang seketika, maka musim dingin nuklir yang menyusulnya diyakini akan membunuh satu miliar lagi.
Pada tahun 1816 – setahun setelah letusan Gunung Tambora – bagian timur laut Amerika Serikat telah memperoleh kajian – dalam skala sangat kecil – tentang sesuatu yang berhubungan dengan musim salju nuklir saat daerah pesisir Inggris dan Atlantik menderita akibat satu tahun tanpa diselingi oleh musim panas.
‘’Mengapa pada bulan Juni (dua bulan setelah letusan) – seharusnya musim panas – salju telah turun di Connecticut?,’’ Spignesi bertanya.
Mengapa terdapat embun beku pada bulan Juli di New Hamshire? Jawabannya, karena Gunung Api Tambora yang terletak di Pulau Sumbawa di Indonesia telah meletus pada tahun sebelumnya, memuntahkan abu gunung api dalam jumlah terbesar ke udara, dalam sejarah. Membutuhkan 104 tahun bagi para ilmuwan untuk memahami kaitan yang terjadi. Pada tahun 1920 mereka akhirnya berhasil. Sejak saat itu, terdapat penjelasan bagi tahun tanpa musim panas – dan pemahaman baru dari efek yang bisa ditimbulkan oleh letusan gunung api terhadap cuaca bumi.
Gunung Menyusut
Setiap orang berpikir Tambora telah punah. Kenyataannya tidaklah demikian. Pada tanggal 5 April 1815, Goliath setinggi 13.000 ribu kaki (3.960) telah bangun. Ia mengeluarkan serangkaian suara gemuruh yang mengumandangkan kehadirannya, terdengar dalam jarak ribuan kilometer. Selama lima hari, gunung ini memuntahkan abu dalam jumlah yang mampu meruntuhkan rumah-rumah di Pulau Sumbawa karena bobotnya. Abu ini tebal. Tidak bisa ditembus oleh cahaya matahari. Penduduk di pulau ini bisa dikatakan tidak mampu melihat tangan di hadapan wajah mereka. Pada tanggal 10 April, tetusan ini memuncak dengan gumpalan api yang sangat besar. Ia membelit satu sama lain dan terjalin di atas gunung yang berpijar.
Kejadian ini diikuti oleh angin topan, yang mungkin serupa dengan fenomena meteorologis badai api -– topan api yang terbentuk dari kebakaran hutan yang sangat besar. Bagaikan sebuah mesin penyedot, kekacauan ini telah menyapu manusia, hewan, dan rumah, terbang ke udara. Makhluk hidup terpotong-potong dan terbakar. Benda-benda mati hancur dan tercabik-cabik menjadi potongan-potongan yang tak terhitung banyaknya.
Kekuatan letusan Tambora melebihi kemampuan gunung dan pulau di mana gunung ini berdiri. Saat gunung ini melepaskan berton-ton batu karang, lava, dan abu, gunung itu mutlak menyusut. Tinggi yang semula 13.000 kaki (3.960 m) menyusut menjadi 9.000 kaki (2.740 m). Ironisnya, permukaan pulau mulai naik, saat abu bertumpuk beberapa sentimeter. Abu yang memiliki kedalaman lebih dari tiga kaki (sekitar 90 cm), juga mengisap air di sekitar Sumbawa – dan menuntaskan karya pemusnahan Tambora terhadap manusia yang berada di dalam jangkauannya. Abu telah membunuh semua sayuran dan wabah kelaparan yang segera menyusul, digabungkan dengan epidemi kolera, telah menambah jumlah 80.000 kematian. Sebanyak 12.000 orang di antaranya menemui ajalnya seketika selama letusan.
Tahun Tanpa Musim Panas
Seorang pengamat letusan Tambora merenungkan, abu yang telah dikeluarkan gunung api ini, jika tersebar secara merata mungkin akan menutupi seluruh Jerman. Sebagian besar abu tidak jatuh ke tanah, tetapi tetap di atmosfer. Mulai berkelana ke seluruh dunia dibawa oleh angin.
Awan yang sangat besar ini telah menyebabkan turunnya temperatur bumi. Menyebabkan kehancuran padi musim panas yang mulai menguning di Eropa dan Inggris. Temperatur pada bulan Juni jauh di bawah normal, turut menyumbang kerusakan yang telah disebabkan oleh kekeringan berkepanjangan. Para petani mulai mengambil jalan dengan memberi makanan jagung yang bisa mereka panen pada ternak mereka agar tidak kehilangan ternak itu. Di Swiss , orang-orang yang kelaparan telah memakan anjing dan kucing yang sesat. Para petani New York terpaksa menggali tanaman kentang yang baru saja ditanam untuk memberi makan kepada keluarga mereka. Embun beku musim panas yang aneh telah membunuh padi segera setelah tanaman itu ditanam. Orang-orang mulai berburu raccoon (mamalia semacam kucing) dan burung merpati untuk dimakan. Kelaparan dan penyakit diperkirakan telah menambah jumlah korban meninggal nyaris sebanyak 50.000, pada jumlah kematian keseluruhan Gunung Tambora. Meski pada saat itu tak seorang pun yang memahami kaitan antara tanpa musim panas dan letusan gunung api yang jaraknya ribuan kilometer, dan meletus ratusan hari pada masa lalu ini. Meski mereka memahaminya, tampaknya para petani Inggris abad XIX yang pendiam dan tabah ini juga tidak percaya. Kini, kisah Gunung Tambora tidak sedahsyat letusannya dulu.
30 Okt 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)