Pemberontak, rebel.... what's came up in your head when hear this word?? Melawan orang tua? Berbicara seperti anak nakal? Atau mengganti dress-code mu mengikuti gaya band-band yang lagi booming di MTV?
Well, no matter what you do, esensi dari pemberontakan tidak akan pernah berubah. A real rebellion stays under your skin. Bukan dari dandanan, tato, piercing atau anorexic-look yang dibuat-buat.
There's two kind of rebel. Once you're a real rebel, kamu akan selalu jadi a rebel for most of your lifetime, tak akan bisa berubah coz that's who you are. It's in your blood. Kamu akan selalu berpikir untuk melawan kecenderungan-kecenderungan yang ada, kapan saja dimana saja. And the second, when you’re a wannabe-rebel, pemberontak tanpa misi dan prinsip yang jelas, kamu hanya akan memandang sebuah pemberontakan dari sisi luarnya saja (baca:fashion). Dan a wannabe-rebel tidak akan pernah membuat sejarah atau melahirkan pemikiran baru yang lebih baik untuk generasinya. Kita orang timur memang seringkali bingung mengadaptasi culture barat yang sedemikian liberalnya. Dimana di sini masyarakat kita diikat oleh tatanan atau norma yang kadang nggak penting dan berlebihan. Masyarakat kita mencintai keseragaman dan kurang menghargai sosok-sosok idealis dan individualis. Menjadi seorang rebel memang susah untuk hidup di Indonesia, for real. Tapi disanalah letak tantangannya. Sesuatu yang memerlukan pengorbanan karena masyarakat kita masih cenderung melihat sisi negative dari seorang pemberontak. Padahal menjadi seorang rebel bukan 100% salah. Tergantung mana yang kamu lawan. Misalnya, kamu benci melihat sinetron-sinetron Indonesia yang mewah, dangkal dan mudah ditebak. Lalu kamu bikin sebuah film documenter tentang bagaimana sinetron-sinetron tersebut mombodohi masyarakat kita yang mayoritas masih hidup di bawah garis kemiskinan. Itu sebuah pemberontakan yang pintar. Sebuah counter terhadap komersialitas dan penyeragaman yang berlebihan. A real rebel selalu berada di luar kecenderungan masyarakat dan itu bukanlah pilihan yang salah, selama kamu bisa bertahan dan mempertanggungjawabkan misi dari pemberontakanmu. Harus diingat, kecenderungan di masyarakat tidak selalu benar dan baik buat kita. Contohnya ketika tren emo menyerang. Remaja kota-kota besar bahkan remaja pedesaan beramai-ramai menutupi jidat mereka dengan rambut poninya dan bikin band-band emo dadakan. Alasannya biar keliatan cool dan diterima di pergaulan kota besar yang makin konsumtif. Hanya sebagian kecil dari remaja-remaja kita yang serius menyimak dan mengerti lirik-lirik band-band emo. Ironis! Padahal di negeri asalnya, band–band emo tersebut terbentuk karena mereka sering tersisih dalam pergaulan. Dan musik yang mereka tulis adalah penegas kalau mereka adalah orang-orang yang berada diluar kecenderungan/pergaulan. Di sini, oleh sebagian besar remaja masa kini malah dipakai sebagai senjata untuk keliatan ‘up to date’ dan ‘gaul’ (damn, I hate that word!!). Same thing happens to punkrock and ska. Misi pemberontakan ditinggalkan, fashionnya diobral habis-habisan. Mirip sebuah butik pakaian yang jual tampang sama dandanan.
Jika diumpamakan pemberontakan adalah struktur sebuah lagu, jenis suara gitar, drum dan suara teriakan/nyanyian vokalisnya adalah media penyampai pemberontakan. Sedangkan isi dari pemberontakan itu sendiri ada pada lirik. Karena lirik berasal dari pemikiran yang paling dalam, ada pesan yang ingin disampaikan. Banyak orang yang jago main musik, tempo drum hebat, teknik vocal diatas angin dan bergaya seperti rockstar yang mempunyai masalah kejiwaan. Tapi jarang banget band Indonesia, apalagi yang terkenal, punya lirik berontak yang sekaligus pintar. Ujung-ujungnya paling keras bisanya menghujat pemerintah tanpa ngasih solusi yang jelas. Buruh bangunan pun bisa bikin lirik seperti itu. Lirik sederhana gak bermutu yang katanya pengalaman hidup atau apalah. Jadi ya percuma saja kalau ada band yang merasa sudah menjadi pemberontak hanya karena memakai kaos Ramones, tattoo or Mohawk, dandan keren ala The Beatles atau dandan seram mirip The Kiss, distorsi maksimum dengan drum ngebeat tapi lirik nya masih standar khas Indonesia (lirik cinta yang dangkal dan klip yang harus ada model cantik dan ganteng lagi berantem).
Seorang rebel akan menemui kesulitan mensupport band-band seperti ini. Lagipula, kenapa harus nyerah sama standard2 yang dibikin sama generasi sebelum kita, apa kita tidak punya hak untuk punya taste terhadap standard yang berbeda. Sekarang try to think! Kecenderungan apa aja yang ada di masyarakat kita yang kamu rasa mengganggu tidurmu? Ignorance is the real enemy. Kamu kesal setiap kali melihat masyarakat dengan santainya membuang sampah plastik sembarangan? Jadilah seorang yang pro-environment, ajari dan pengaruhi orang-orang di sekitarmu. Kalau kamu nggak tega melihat hewan-hewan yang dibunuh untuk dimakan, jadilah seorang vegetarian dan daftar ke pro2.com. Jika kamu udah muak dengan berita-berita hangat seputar mafia-mafia atau para koruptor yang semakin kurang ajar, bikinlah sebuah buku tentang bahaya laten korupsi, dengan sedikit ilmu tentang moral dan etika, ajarkan pada generasi muda kita, agar korupsi tidak lagi menjadi budaya kita. Kalo kamu merasa menyesal membeli majalah yang dipenuhi wajah-wajah infotainment nggak penting, bikin dan cetaklah majalahmu sendiri. Bosan sama design kaos distro yang makin seragam dan sering ditemui di jalan-jalan, bikin clothing-line mu sendiri. Akan lebih baik jika kamu melakukan itu semua daripada menjadi seorang fasis yang kaku.
See, banyak hal-hal berontak yang bisa kamu lakukan di Indonesia tanpa harus merugikan orang lain. Dan malah bias menguntungkanmu jika kamu bias memanage ‘kenakalanmu’. Orang sukses kan tidak harus kaya dan terkenal.
Jadilah seorang counter-culture with a big heart, yang bertanggungjawab, respect terhadap keluarga terutama kedua orangtua, lingkungan dan bumi pertiwi. Jangan jadi seorang rebel bodoh yang hanya mengejar status sosial dan status fashion. Knowledge is king and that’s all you need to be a real modern rebel.
So, are you a real rebel or just a wannabe rebel?? Ask to your heart..